REGGAE:
Rasta, Ganja, dan Perdamaian
“Emancipate yourselves from mental slavery. None but ourselves can free our minds
Have no fear for atomic energy, ‘Cause none of them can stop the time
How long shall they kill our prophets, While we stand aside and look
Some say it’s just a part of it We’ve got to fulfil de book
Won’t you help to sing, These songs of freedom” ( Bob Marley )
Bob Marley, musisi asal Kingston Jamaica yang dianggap seperti nabi oleh pecinta musik reggae. Bob Marleylah yang mempopulerkan genre reggae di jagat industri musik dunia. Lirik lagu yang diciptakannya, memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk berjuang dan bicara tentang perdamaian. Seperti penggalan lirik lagu Redemption Song diatas.
Reggae suatu genre musik yang berkembang di Jamaika. Reggae sendiri merupakan campuran dari aliran ska dan rocksteady. Musik reggae kombinasi musik tradisional Afrika, Amerika dan Blues serta lagu rakyat Jamaika. Reggae diketahui orang banyak sebagai musik rakyat Jamaika. Namun sebenarnya, berasal dari New Orleans, kota R&B (Rhythm and Blues). Musik ska, yang mempunyai pengaruh kuat pada reggae, juga berasal dari New Orleans. Musik-musik ini diperdengar dari siaran radio Amerika. Iringan gitar pas-pasan dan putus-putus merupakan interprestasi para musisi akan R&B yang populer di tahun 60an.
Raggae tak harus Rasta dan hisap ganja
Bagi sebagian orang musik reggae diidentikan dengan ganja dan rasta. Padahal, rasta dan reggae tidak memiliki ikatan apapun. Reggae adalah genre musik, sedang rasta atau rastafar’i suatu faham yang berkembang di Afrika dan dijadikan sebagai gerakan politik untuk membebaskan diri dari sistem perbudakan di tahun 30-an. Memang, mayoritas penganut faham Rastafarianisme berambut gimbal dan menggunakan ganja sebagai media bermeditasi untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang diyakininya ( King Haile Selassie ). Tetapi, tidak berarti bahwa semua yang berambut gimbal adalah pengikut Rastafarian dan menghisap ganja. Contohnya musisi Tonny Q. Salah satu dedengkot reggae di Indonesia ini mengaku, dirinya bukan seorang Rastafarian dan tidak menghisap ganja. Stigma seperti inilah yang membuat sebagian orang berpandangan negatif terhadap pecinta musik reggae.
Perjalanan Reggae di Indonesia
Reggae timbul tenggelam di dunia musik Indonesia, namun tidak pernah hilang. Reggae kembali hidup ketika Steven & Coconut Treez mengeluarkan single Welcome To My Paradise di tahun 2007. Berkat grup inilah reggae kembali berkumandang di radio. Banyak grup reggae yang masih berkibar di belantika musik Indonesia, seperti Tony Q – Rastafara, Black & Company, Soul Jah, Shagy Dog, dan The Babylonians.
Musik reggae mulai populer di Indonesia tahun 1980, dengan munculnya band Reggae Abreso pada acara Reggae Night di Taman Impian Jaya Ancol. Tahun 1986 band yang personilnya pemuda asal Papua ini, performing di Christmas Island selama tiga bulan yang diprakarsai oleh Yorries Raweyai. Pada tahun 1984 Abreso masuk rekaman lagu-lagu reggae.
Masih di era tahun 1980-an, ada lagu “Dansa Reggae” yang dinyanyikan oleh Nola Tilaar dengan iringan musik oleh Willie Teuguh. Lagu ciptaan Melky Goeslaw itu adalah salah satu lagu reggae yang mengajak masyarakat dari berbagai latar belakang kultural ramai-ramai menikmati reggae. Dengar liriknya, “Orang Jawa bilang, ’monggo dansa reggae’!”
Musik reggae memberikan pesan cinta dan kedamaian, sehingga ketika mendengarkan lagu-lagunya, serasa memberikan relaksasi. Dan yang terpenting, bahwa musik reggae selalu menghembuskan udara perdamaian dalam tiap-tiap liriknya. (Alfan/Chika, dari berbagai sumber)