Selamat Datang Di Network TEAM Blitar

Senin, 24 Maret 2014

Memahami Arti Sebuah Reggae dan Rasta Sesungguhnya

Memahami Arti Sebuah Reggae dan Rasta Sesungguhnya


Reggae dan rasta Di Indonesia, reggae hampir selalu diidentikkan dengan rasta. Padahal,
reggae dan rasta sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda. "Reggae adalah nama
genre musik, sedangkan rasta atau singkatan dari rastafari adalah
sebuah pilihan jalan hidup, way of life," ujar Ras Muhamad (23),
pemusik reggae yang sudah 12 tahun menekuni dunia reggae di New York
dan penganut ajaran filosofi rasta. Repotnya, di balik ingar-bingar dan
kegembiraan
yang dibawa reggae, ada stigma yang melekat pada para penggemar musik
tersebut.
Dan stigma tersebut turut melekat pada filosofi rasta itu
sendiri. "Di sini, penggemar musik reggae, atau sering salah kaprah
disebut rastafarian, diidentikkan dengan pengisap ganja dan bergaya
hidup
semaunya, tanpa tujuan," ungkap Ras yang bernama asli Muhamad Egar ini.
Padahal, filosofi rasta sesungguhnya justru mengajarkan seseorang hidup
bersih, tertib, dan memiliki prinsip serta tujuan hidup yang jelas.
Penganut rasta yang sesungguhnya menolak minum alkohol, makan daging,
dan bahkan mengisap rokok. "Para anggota The Wailers (band asli Bob
Marley) tidak ada yang merokok. Merokok menyalahi ajaran rastafari,"
papar Ras.

Ras mengungkapkan, tidak semua penggemar reggae
adalah penganut rasta, dan sebaliknya, tidak semua penganut rasta harus
menyenangi lagu reggae. Reggae diidentikkan dengan rasta karena Bob
Marley—pembawa genre musik tersebut ke dunia—adalah seorang penganut
rasta.

Ras menambahkan, salah satu bukti bahwa komunitas reggae di Indonesia
sebagian besar belum memahami ajaran rastafari adalah tidak adanya
pemahaman terhadap hal-hal mendasar dari filosofi itu. "Misalnya waktu
saya tanya mereka tentang Marcus Garvey dan Haile Selassie, mereka
tidak tahu. Padahal itu adalah dua tokoh utama dalam ajaran rastafari,"
ungkap pemuda yang menggelung rambut panjangnya dalam sorban ini.

Pemusik
Tony Q Rastafara pun mengakui, meski ia menggunakan embel-embel nama
Rastafara, tetapi dia bukan seorang penganut rasta. Tony mencoba
memahami ajaran rastafari yang menurut dia bisa diperas menjadi satu
hakikat filosofi, yakni cinta damai. "Yang saya ikuti cuma cinta damai
itu," tutur Tony yang tidak mau menyentuh ganja itu. Namun, meski tidak
memahami dan menjalankan seluruh filosofi rastafari, para penggemar dan
pelaku reggae di Indonesia mengaku mendapatkan sesuatu di balik musik
yang mereka cintai itu. Biasanya, dimulai dari menyenangi musik reggae
(dan lirik lagu-lagunya), para penggemar itu kemudian mulai tertarik
mempelajari filosofi dan ajaran yang ada di baliknya.

Seperti diakui Hendry Moses Billy, gitaris grup Papa Rasta asal Yogya, yang
mengaku
musik reggae semakin menguatkan kebenciannya terhadap ketidakadilan dan
penyalahgunaan wewenang. Setiap ditilang polisi, ia lebih memilih berdebat daripada "berdamai". "Masalahnya bukan pada uang, tetapi praktik seperti itu tidak adil," tandas Moses yang mengaku sering dibuntuti orang tak dikenal saat beli rokok tengah malam karena dikira mau beli ganja. Sementara Steven mengaku dirinya menjadi lebih bijak dalam memandang hidup sejak menggeluti musik reggae. Musik reggae, terutama yang dipopulerkan Bob Marley, menurut Steven, mengajarkan perdamaian, keadilan, dan antikekerasan. "Jadi kami memberontak terhadap ketidakadilan, tetapi tidak antikemapanan. Kalau reggae tumbuh, maka di Indonesia tidak akan ada perang. Indonesia akan tersenyum
dengan reggae," ujar Steven mantap. Sila dan Joni dari Bali menegaskan,
seorang rasta sejati tidak harus identik dengan penampilan ala Bob
Marley. "Rasta sejati itu ada di dalam hati," tandas Sila sambil
mengepalkan tangan kanan untuk menepuk dadanya.

Mari kita diskusikan artikel diatas tersebut....

Stigma populis yang hidup dalam masyarakat adalah tantangan untuk para Reggae Lovers. Yang di katakan Ras Muhammad soal Rastafari dan Reggae adalah hal yang berbeda adalah benar. Namun tidak bisa di kesampingkan antara Rastafari dan Genre musik Reggae adalah hubungan yang saling menguntungkan. Kaum Rastafari menggunakan Reggae sebagai alat atau media perlawanan, seperti halnya Punk dalam Anarkisme dan Sindikalis. 

Nah ini yang harus segera di jawab di tengah stigma negatif yang hidup dalam masyarakat bahwa reggae adalah rastafarian, bahwa reggae adalah pengkonsumsi ganja. ketidaktahuan masyarakat yang menyebabkan stigma ini muncul dan hidup. tinggal cara kita sebagai reggae lovers meluruskan stigma ini menjadi positif. Media yang di miliki indoreggae mungkin jadi alat bantu untuk bisa meluruskan pandangan negatif terhadap reggae lovers.

Rastafari adalah spirit perlawanan yang harus tetap hidup dan jadi spirit kita untuk bisa bebas dari belenggu kapitalisme dan neoimperialisme sebagai turunannya. Kalau dahulu kaum Rastafarian berjuang melawan belenggu perbudakan, kini pun sama halnya. yang membedakan adalah bukan melawan perbudakan fisik melainkan perbudakan budaya dan ekonomi.
Reggae dan rasta

Di Indonesia, reggae hampir selalu diidentikkan dengan rasta. Padahal,
reggae
dan rasta sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda. "Reggae adalah nama
genre musik, sedangkan rasta atau singkatan dari rastafari adalah
sebuah pilihan jalan hidup, way of life," ujar Ras Muhamad (23),
pemusik reggae yang sudah 12 tahun menekuni dunia reggae di New York
dan penganut ajaran filosofi rasta. Repotnya, di balik ingar-bingar dan
kegembiraan
yang dibawa reggae, ada stigma yang melekat pada para penggemar musik
tersebut.
Dan stigma tersebut turut melekat pada filosofi rasta itu
sendiri. "Di sini, penggemar musik reggae, atau sering salah kaprah
disebut rastafarian, diidentikkan dengan pengisap ganja dan bergaya
hidup
semaunya, tanpa tujuan," ungkap Ras yang bernama asli Muhamad Egar ini.
Padahal, filosofi rasta sesungguhnya justru mengajarkan seseorang hidup
bersih, tertib, dan memiliki prinsip serta tujuan hidup yang jelas.
Penganut rasta yang sesungguhnya menolak minum alkohol, makan daging,
dan bahkan mengisap rokok. "Para anggota The Wailers (band asli Bob
Marley) tidak ada yang merokok. Merokok menyalahi ajaran rastafari,"
papar Ras.

Ras mengungkapkan, tidak semua penggemar reggae
adalah penganut rasta, dan sebaliknya, tidak semua penganut rasta harus
menyenangi lagu reggae. Reggae diidentikkan dengan rasta karena Bob
Marley—pembawa genre musik tersebut ke dunia—adalah seorang penganut
rasta.

Ras menambahkan, salah satu bukti bahwa komunitas reggae di Indonesia
sebagian besar belum memahami ajaran rastafari adalah tidak adanya
pemahaman terhadap hal-hal mendasar dari filosofi itu. "Misalnya waktu
saya tanya mereka tentang Marcus Garvey dan Haile Selassie, mereka
tidak tahu. Padahal itu adalah dua tokoh utama dalam ajaran rastafari,"
ungkap pemuda yang menggelung rambut panjangnya dalam sorban ini.

Pemusik
Tony Q Rastafara pun mengakui, meski ia menggunakan embel-embel nama
Rastafara, tetapi dia bukan seorang penganut rasta. Tony mencoba
memahami ajaran rastafari yang menurut dia bisa diperas menjadi satu
hakikat filosofi, yakni cinta damai. "Yang saya ikuti cuma cinta damai
itu," tutur Tony yang tidak mau menyentuh ganja itu. Namun, meski tidak
memahami dan menjalankan seluruh filosofi rastafari, para penggemar dan
pelaku reggae di Indonesia mengaku mendapatkan sesuatu di balik musik
yang mereka cintai itu. Biasanya, dimulai dari menyenangi musik reggae
(dan lirik lagu-lagunya), para penggemar itu kemudian mulai tertarik
mempelajari filosofi dan ajaran yang ada di baliknya.

Seperti diakui Hendry Moses Billy, gitaris grup Papa Rasta asal Yogya, yang
mengaku
musik reggae semakin menguatkan kebenciannya terhadap ketidakadilan dan
penyalahgunaan wewenang. Setiap ditilang polisi, ia lebih memilih berdebat daripada "berdamai". "Masalahnya bukan pada uang, tetapi praktik seperti itu tidak adil," tandas Moses yang mengaku sering dibuntuti orang tak dikenal saat beli rokok tengah malam karena dikira mau beli ganja. Sementara Steven mengaku dirinya menjadi lebih bijak dalam memandang hidup sejak menggeluti musik reggae. Musik reggae, terutama yang dipopulerkan Bob Marley, menurut Steven, mengajarkan perdamaian, keadilan, dan antikekerasan. "Jadi kami memberontak terhadap ketidakadilan, tetapi tidak antikemapanan. Kalau reggae tumbuh, maka di Indonesia tidak akan ada perang. Indonesia akan tersenyum
dengan reggae," ujar Steven mantap. Sila dan Joni dari Bali menegaskan,
seorang rasta sejati tidak harus identik dengan penampilan ala Bob
Marley. "Rasta sejati itu ada di dalam hati," tandas Sila sambil
mengepalkan tangan kanan untuk menepuk dadanya.

Mari kita diskusikan artikel diatas tersebut....

Stigma populis yang hidup dalam masyarakat adalah tantangan untuk para Reggae Lovers. Yang di katakan Ras Muhammad soal Rastafari dan Reggae adalah hal yang berbeda adalah benar. Namun tidak bisa di kesampingkan antara Rastafari dan Genre musik Reggae adalah hubungan yang saling menguntungkan. Kaum Rastafari menggunakan Reggae sebagai alat atau media perlawanan, seperti halnya Punk dalam Anarkisme dan Sindikalis. 

Nah ini yang harus segera di jawab di tengah stigma negatif yang hidup dalam masyarakat bahwa reggae adalah rastafarian, bahwa reggae adalah pengkonsumsi ganja. ketidaktahuan masyarakat yang menyebabkan stigma ini muncul dan hidup. tinggal cara kita sebagai reggae lovers meluruskan stigma ini menjadi positif. Media yang di miliki indoreggae mungkin jadi alat bantu untuk bisa meluruskan pandangan negatif terhadap reggae lovers.

Rastafari adalah spirit perlawanan yang harus tetap hidup dan jadi spirit kita untuk bisa bebas dari belenggu kapitalisme dan neoimperialisme sebagai turunannya. Kalau dahulu kaum Rastafarian berjuang melawan belenggu perbudakan, kini pun sama halnya. yang membedakan adalah bukan melawan perbudakan fisik melainkan perbudakan budaya dan ekonomi.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar